Kamis, 27 Oktober 2011

Wajah Indonesia

Anak yang mau ikut kelas nari
“Siapa yang mau ikut kelas Bahasa Inggris?”

Suasana kelas jadi hening, beda dari beberapa menit yang lalu. Nggak ada satu anak pun yang ngacungin tangan. Akhirnya, ada satu siswi yang ngacungin tangan. Cuma satu anak. Kurang lebih sepuluh menit berlalu, total anak yang ngacungin tangan cuma tiga orang dan semuanya adalah siswi. Ke mana para siswanya?

Kembali ke menit sebelum pertanyaan di atas..

“Kak, aku mau ikut nari aja,” kata salah satu siswa. Dia adalah salah satu siswa yang ngajuin diri untuk ikut kelas menari. Dia nggak merasa malu. Dia mematahkan pandangan kebanyakan orang awam, kalau laki-laki itu malu untuk ikut menari dan rasanya kurang cocok. Begitu juga sama siswa yang lain, yang juga daftarin diri untuk ikut kelas menari.


Waktu bandingin daftar murid yang ikut kelas menari dan kelas Bahasa Inggris, ada rasa senang yang muncul, entah spesifiknya kayak apa rasa senang itu. Tiga orang banding dua puluhan orang. Mungkin aku berpikir terlalu jauh kalau ngira anak-anak yang pengen ikut kelas tari itu pengen melestarikan budaya negeri ini. Tapi, mereka udah maju satu langkah ke arah sana dan awalan itu juga harus ‘dilestarikan’.

Bukan berarti aku nggak mau mereka belajar bahasa Inggris, tapi ngelihat mereka begitu bersemangat untuk ikut kelas menari, bikin aku mikir, biarkan merasa fokus di sini. Toh di kelas juga mereka udah dapat pelajaran bahasa Inggris. Mereka masih lugu banget dan keingintahuan mereka akan dunia luar sangat besar. Nggak perlu membudayakan bahasa Inggris untuk tahu dunia luar, dengan melestarikan budaya negeri juga bisa. Bahasa Inggris bukan bahasa ibu atau istilah kerennya mother tongue kita, tapi hanya bahasa yang notabenenya dipaksakan untuk kita gunakan untuk berhubungan dengan dunia internasional.

Maaf kalau tulisan ini ngalor ngidul, tapi ada sesuatu yang menggelitik soal bahasa persatuan kita. Mungkin sumpah pemuda perlu ‘direvisi’.

Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Entah kapan hal ini mulai meluntur.

Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan internasional, bahasa Inggris. Inilah yang lebih cocok diterapkan saat ini, apabila kita lebih menjunjung bahasa Inggris.


Kita memang nggak bisa acuh tak acuh dengan perlunya bahasa internasional ini, tapi jangan buang muka juga dengan identitas bangsa yang semakin luntur dengan gerusan globalisasi. Awalnya aku tertohok sama tulisanku sendiri karena nyatanya, aku juga masih sering menggunakan dan melihat bahasa Inggris untuk hal-hal kecil sekalipun. Alamat blog (akhirnya ganti), nama acara, update status. Bahasa Inggris memang terkesan lebih keren dibanding bahasa Indonesia karena terkesan lebih sederhana. Tapi, akankah kita menggunakan bahasa negara lain sebagai bahasa ibu? Mungkin pemikiran ini agak berlebihan, tapi dalam makna denotasi identitas bangsa ini seperti ‘padi yang semakin tua semakin merunduk’.

Apa sih (pentingnya) Pemuda?

Beri aku sepuluh pemuda, maka akan kuguncangkan dunia
    
     Seperti seruan Presiden RI pertama ,Soekarno, pemuda bisa mengguncang dunia. Mengapa? Karena pemuda mempunyai banyak mimpi. Tidak hanya itu, pemuda juga mempunyai keinginan dan semangat yang tinggi untuk mewujudkan mimpi-mimpinya. Kerjasama, kesolidan, kemauan, percaya diri, kreativitas, semangat, usaha, dan rela berkorban akan berdampak positif pada perwujudan mimpi-mimpi generasi muda.
     Sebetulnya, wadah yang benar dan positif untuk pengembangan bakat dan kreativitas sudah banyak terdapat di Indonesia, khususnya kota-kota besar. Tetapi, masih banyak pemuda yang kurang berminat ikut berperan dalam wadah itu. Contoh kecilnya saja, bakat dalam corat-coret (mantek, graffiti) dan bela diri, malah disalurkan ke hal yang negatif seperti mencoret-coret tembok jalanan atau rumah orang dan ikut tawuran antarpelajar. Baru-baru ini kerap terjadi tawuran antarpelajar, seperti di Cirebon. Mungkin mereka berpikir bahwa kemampuan yang mereka miliki itu kemampuan sepele dan sifatnya hanya untuk kesenangan dan 'hobi' saja, tetapi sebetulnya kemampuan sepele itu bisa membuat perubahan yang berarti dalam diri generasi muda dan untuk bangsanya bila disalurkan ke wadah yang benar dan positif.
     Bila kita bercermin pada masalah yang ada di Indonesia saat ini, yaitu minimnya moral bangsa yang disebabkan koruptor dan penjahat bangsa lainnya, mereka adalah orang-orang yang bisa dibilang intelektual, tetapi kurang bermoral. Padahal yang terpenting bukan pencapaian dalam kemampuan yang dia miliki, tetapi sikap dan moral seperti yang telah disebutkan di atas, yang akan dia dapatkan bila dapat mengembangkan kemampuannya dalam wadah yang benar dan positif.

Passion Jadi Komitmen

Cuma Lewat
     Dua minggu lalu, aku baru aja nyelesaiin sebuah project yang umurnya udah berbulan-bulan. Tadinya sempet mau berhenti karena mulai pesimis nggak bakal selesai sesuai target, tapi kalo berhenti takut nyesel karena kesempatan jarang dateng dua kali. Walaupun agak 'geser' dari target waktu yang udah direncanakan, Alhamdulillah project-nya selesai juga :D Tinggal berdoa aja.
Efek dari begadang di dua minggu sebelumnya, baru terasa di minggu setelahnya. Berat badan menurun gara-gara pola makan yang nggak teratur, tidur jadi kayak kebo (baca: balas dendam). Gara-gara tidur mulu, jadi sering telat bangun dan nggak fokus sama jadwal kegiatan yang ada. Ancur banget lah akibat seminggu begadang itu.

Passion Jadi Komitmen
     Awalnya, aku punya dua komitmen yang asalnya dari passion. Koran Kampus dan SC AGH. Karena suka nulis dan pengen banget jadi wartawan, aku masuk UKM Koran Kampus. "Yakin mau jadi wartawan?" kata salah satu anggota Korpus. Waktu itu, aku baru sekadar pengen, baru sekedar omongan yang keluar lewat mulut, bukan teriakan dari hati (agak lebai). Setelah project di atas selesai, aku makin yakin aku pengen berkecimpung di jurnalistik, terutama jadi wartawan dan penulis. Waktu SMP, aku bilang ke Ibu kalo aku nggak mau kerja kantoran yang duduk mulu di belakang meja, Ibu nanya, "Terus kamu mau jadi apa?". Aku jawab, "Wartawan. Kan kerjanya lebih banyak di luar kantor." Ibu mengiyakan.
     Komitmen kedua: SC AGH. Pertama kali konsultasi sama Pak Findi, Dosen PA, aku nanya, apa ada anak IE yang ngambil minor atau SC di Faperta?
     Pak Findi bilang, "Selama saya jadi dosen PA, belum ada mahasiswa saya yang ngambil minor atau SC AGH." Aku jadi makin bingung, apa pilihanku buat ngambil SC AGH itu tepat? Soalnya, Pak Findi lebih nyaranin anak eksyar ngambil minor atau SC manajemen. Temenku langsung nimpalin, "Ayo, Na, bikin gebrakan baru!"
   Singkat cerita, aku perjuangin SC AGH di KRS sampai akhirnya aku nyerah karena jadwal kuliah mayor dan interdept yang bentrok dimana-mana. Tadinya udah rela ninggalin interdept, tapi mayor, nggak mungkin. Dosen pemangku matkul mayorku itu, nyaranin aku supaya aku lebih mentingin mayor ketimbang SC. Karena matkul yang mau aku ambil di AGH itu prasyarat yang bisa diambil cuma di semester ganjil, alhasil, aku milih minor manajemen buat menuhin sks dulu, kalo memungkinkan buat dilepas, ya semester depan aku lepas. Aku pengen banget SC AGH, sempet iri juga ngeliat anak AGH yang bisa ngambil matkul eksyar. Kenapa aku nggak bisa? Mungkin belum waktunya. Harapannya, semester 5 bisa ngambil SC AGH. Kenapa aku kekeuh banget sama AGH? Alasannya sempet bikin temenku ketawa geli. Aku pengen punya kebun alpukat. Alasan yang sederhana banget, tapi segitu pengennya aku buat wujudin itu. Aku pengen jadi wirausaha alpukat.
     Aku emang mahasiswa ekonomi syariah, angkatan pertama lagi. Seharusnya, aku punya satu impian yang mayoritas diimpiin sama temen-temen eksyarku. Kerja di bank syariah atau lembaga keuangan syariah lainnya. Tapi, sampai detik ini, aku nggak punya impian sama sekali buat ke sana. Aku sempet takut, aku nggak tanggung jawab sama amanah yang udah dikasih para dosen ke mahasiswa eksyar untuk memajukan ekonomi syariah. Sempet terlintas pertanyaan, apa passionbisa bikin orang jadi egois? Aku bener-benr mikirin hal itu semaleman (tapi nggak begadang). Besoknya (14/10), ada pencerahan dari temenku yang ngomong di depan kelas. Proker BOLANG (baca: project anak eksyar). Aku dan anak eksyar 47 pengen punya desa binaan yang kami bina sesuai ilmu yang kami dapet, yaitu syariah. Mulai dari aspek pendidikan sampai ekonomi, Insya Allah bakal kami upayakan ilmu syariah ini untuk memajukan aspek itu. Ini masih program jangka sangat panjang, tapi aku pengen berkomitmen di sini karena aku lebih nyaman dan seneng terjun di bidang ini daripada di sektor publik yang lebih besar seperti perbankan.
     Tiga komitmen yang sejauh ini masih berusaha aku jalankan dengan istiqomah. Jurnalistik, bertani, dan ilmu syariah, itulah passion-ku. Koran Kampus, SC AGH, dan BOLANG, komitmen yang berlandaskan dari passionMan jadda wajada, barangsiapa bersungguh-sungguh akan mendapatkannya. Hopefullydreams come true :)