Rabu, 04 Desember 2013

Ekonomi Syariah, Bicara Soal Penyedia Pangan Bangsa

Pidato Soekarno pada 27 April 1952 di Bogor mengusung bahasan bagi para pemuda mengenai hidup atau matinya bangsa. Nasib suatu bangsa ditentukan oleh kemampuannya menyediakan pangan bagi rakyat. Siapa yang paling berperan dalam hal ini? Petani. Ialah sosok yang paling berjasa dalam pemenuhan kebutuhan pangan rakyat. Namun, keadaan petani saat ini sangat ironi. Seperti yang dilansir koran-jakarta.com pada 24 September 2013, dari 12 persen angka kemiskinan nasional, 60 persen diantaranya adalah petani yang tersebar di pedesaan.
Keterbatasan penguasaan lahan petani, kerusakan komoditas pertanian akibat penanganan pascapanen yang tidak memadai, dan keterbatasan informasi petani terhadap pasar merupakan beberapa permasalahan yang menjerat petani dalam kemiskinan. Dari berbagai masalah tersebut, ada masalah lain yang sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan ekonomi petani, yaitu dari sisi pembiayaan usaha tani.
Sulitnya para petani mendapatkan modal menjadi kendala yang menyebabkan banyak petani tidak bisa lagi berproduksi atau bahkan memilih beralih profesi. Suharti dan Khomsan (2012) dalam jurnal mengenai kesejahteraan keluarga petani yang dimuat demografi.bps.go.id, memaparkan kekurangan pembiayaan untuk produksi di bidang pertanian juga menyebabkan petani kerap kali terjebak sistem ijon. Uang yang seharusnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup terpaksa digunakan untuk modal pengolahan lahan. Saat petani terdesak untuk segera mendapatkan uang, mereka terpaksa menjual hasil pertanian sebelum panen dengan harga yang ditentukan oleh pedagang. Harga ini cenderung tidak sesuai dengan biaya produksi yang dikeluarkan.
Melalui salah satu program pemerintah dengan bank pemerintah maupun swasta, yaitu program KUT (Kredit Usaha Tani), bank menyediakan kredit pembiayaan usaha pertanian. Pada penyaluran KUT 1998-1999 justru terjadi tunggakan pembayaran petani sebesar 5,7 triliun rupiah atau sebesar 81,4 persen dari kredit yang diberikan (Bappebti, 2012), sehingga program tersebut dianggap tidak efektif. Di sisi lain, petani lebih memilih untuk meminjam kepada rentenir karena prosedurnya mudah dan dana yang diharapkan cepat cair. Bunga yang dikenakan rentenir pun tidak jauh dengan bunga yang didapat ketika meminjam dana dari lembaga keuangan. Namun, dalam perjalanannya, petani tetap kesulitan untuk membayar angsuran kepada rentenir.
Sistem bunga berlipat ganda yang dipakai oleh para rentenir untuk mendapatkan keuntungan sepihak menjadi sumber bencana bagi para petani yang meminjam dana rentenir. Banyak petani menggadaikan lahan garapannya untuk melunasi utang kepada rentenir. Sebagai contoh, ratusan petani di Giriwoyo, Wonogiri, Jawa Tengah, seperti yang dilansir tempo.co pada 22 Maret 2010, terancam tidak bisa bercocok tanam lantaran lahan garapan mereka tergadai pada seorang rentenir.
Bunga dalam kredit yang diberikan bank-bank konvensional juga tidak memberikan dampak yang baik bagi petani. Saat petani mengalami kerugian, bunga bank justru mempersulit petani melunasi utang. Nasib ini yang dialami para petani cabe di Kulonprogo, Yogyakarta (kompas.com, 8 Juli 2011). Saat harga cabe rendah, para petani hanya mampu membayar utang sebatas bunganya saja. Mereka belum sanggup melunasi pokok pinjamannya. Dapat terlihat, kesulitan petani, selain dari ketersediaan pembiayaan untuk pertanian, juga dari proses atau mekanisme pembiayaan yang sarat dengan bunga.
Inilah yang berbeda dari sistem pembiayaan syariah. Instrumen yang digunakan dalam pembiayaan syariah adalah bagi hasil. Pada sistem konvensional, ketika petani meminjam modal, petani diberikan syarat untuk membayar tambahan atau bunga dari pinjaman pokok. Bunga dari pinjaman pokok sudah ditentukan oleh pihak pemberi pinjaman dan tidak mempedulikan apakah di kemudian hari petani akan mengalami keuntungan atau kerugian. Jika menyetujui persyaratannya, petani bisa mendapatkan modal. Sebaliknya, jika tidak, petani tidak bisa mendapatkan modal. Petani hanya sebagai penerima persyaratan tanpa memiliki kuasa untuk bernegosiasi.
Berbeda dengan sistem konvensional, sistem syariah tidak meminta tambahan kepada peminjam modal, jika peminjam mengalami kerugian. Syarat atau ketentuan tambahan atau bagi hasil atas pinjaman pokok berdasarkan persentase keuntungan dan sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Jika petani mengalami kerugian, mereka tidak memiliki kewajiban untuk memberikan tambahan atau bagi hasil dari pinjaman pokoknya. Dapat dikatakan, keuntungan dan kerugian ditanggung bersama. Jika petani untung, pihak pemberi modal untung. Begitu pula sebaliknya. Sedangkan petani, rugi tenaga dan waktu.
Kondisi seperti ini justru akan meningkatkan daya saing bagi para petani. Ketika keuntungan yang diperoleh tinggi, bagi hasil yang akan mereka dapatkan juga akan tinggi. Mereka pun akan berusaha keras agar usaha pertanian mereka tidak gagal. Di lain pihak, lembaga keuangan yang menyediakan pembiayaan syariah pun akan diuntungkan. Lembaga keuangan tidak akan dibayangi rasa was-was karena timbul rasa kepercayaan terhadap petani. Selain itu, ketika produktivitas petani yang dibiayai meningkat, bagi hasil yang mereka dapatkan pun akan meningkat dan mampu memberikan bagi hasil yang besar pula kepada nasabahnya.
Pembiayaan syariah ini secara tidak langsung juga membantu pemerintah dalam usaha mengurangi permasalahan petani di Indonesia. Dampaknya untuk masyarakat luas adalah dapat menyumbang ketersediaan bahan pemenuhan kebutuhan pangan.
Dari pemaparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa sistem pembiayaan syariah memiliki efek berganda yang besar. Namun, di balik semua manfaat tersebut masih ada tugas untuk dapat membumikan sistem pembiayaan syariah ke petani. Keterbatasan pengetahuan terhadap sistem pembiayaan syariah dan aksesibilitas petani kepada lembaga keuangan syariah (LKS) untuk pengajuan peminjaman modal masih belum sesuai dengan kondisi petani. Perlu adanya sinergitas dari seluruh pihak, baik pemerintah, Bank Indonesia, LKS, dan masyarakat.
Pemerintah perlu mengkaji kembali undang-undang yang berkaitan dengan pertanian. Bank Indonesia perlu membuat peraturan yang memudahkan pihak perbankan mencairkan modal untuk petani, misalnya merevisi ketentuan agunan yang diharuskan dalam peminjaman modal. LKS perlu memperkenalkan diri sebagai pihak yang pro terhadap petani, khususnya dalam hal penyedia modal pertanian. Tokoh masyarakat perlu turut membantu mensosialisasikan sistem pembiayaan syariah agar sampai ke telinga petani.
Salah satu hal yang dapat melancarkan perencanaan yang sudah dibuat adalah kegiatan sosialisasi. Pemanfaatan Program Kuliah Kerja Profesi (KKP) mahasiswa ekonomi syariah dari berbagai universitas dianggap dapat membantu proses sosialisasi tersebut di kalangan masyarakat desa. Swasembada beras pada 1960-an berhasil dicapai dengan pemerintah mengerahkan tenaga mahasiswa untuk turun tangan mengembangkan pertanian dalam program Bimbingan Massal (Bimas). Bukan hal mustahil pengembangan ekonomi syariah, khususnya untuk membantu bidang pertanian akan efektif dilakukan oleh para mahasiswa. 
Sarrah Raisa, Putri Monicha Sari, Nana Rodiana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar