Pidato Soekarno pada 27 April 1952 di Bogor mengusung bahasan bagi
para pemuda mengenai hidup atau matinya bangsa. Nasib suatu bangsa ditentukan oleh
kemampuannya menyediakan pangan bagi rakyat. Siapa yang paling berperan dalam
hal ini? Petani. Ialah sosok yang paling berjasa dalam pemenuhan kebutuhan
pangan rakyat. Namun, keadaan petani saat ini sangat ironi. Seperti yang dilansir
koran-jakarta.com pada 24 September
2013, dari 12 persen angka kemiskinan nasional, 60 persen diantaranya adalah
petani yang tersebar di
pedesaan.
Keterbatasan penguasaan lahan petani, kerusakan komoditas
pertanian akibat penanganan pascapanen yang tidak memadai, dan keterbatasan
informasi petani terhadap pasar merupakan beberapa permasalahan yang menjerat
petani dalam kemiskinan. Dari berbagai
masalah tersebut, ada masalah lain yang sangat berpengaruh terhadap
kesejahteraan ekonomi petani, yaitu dari sisi pembiayaan usaha tani.
Sulitnya para
petani mendapatkan modal menjadi kendala yang menyebabkan banyak petani tidak
bisa lagi berproduksi atau bahkan memilih beralih profesi. Suharti dan Khomsan
(2012) dalam jurnal mengenai kesejahteraan keluarga petani yang dimuat demografi.bps.go.id, memaparkan
kekurangan pembiayaan untuk produksi di bidang pertanian juga menyebabkan
petani kerap kali terjebak sistem ijon. Uang yang seharusnya digunakan untuk
memenuhi kebutuhan hidup terpaksa digunakan untuk modal pengolahan lahan. Saat
petani terdesak untuk segera mendapatkan uang, mereka terpaksa menjual hasil
pertanian sebelum panen dengan harga yang ditentukan oleh pedagang. Harga ini
cenderung tidak sesuai dengan biaya produksi yang dikeluarkan.
Melalui salah
satu program pemerintah dengan bank pemerintah maupun swasta, yaitu program KUT
(Kredit Usaha Tani), bank menyediakan kredit pembiayaan usaha pertanian. Pada
penyaluran KUT 1998-1999 justru terjadi tunggakan pembayaran petani sebesar 5,7
triliun rupiah atau sebesar 81,4 persen dari kredit yang diberikan (Bappebti,
2012), sehingga program tersebut dianggap tidak efektif. Di sisi lain, petani lebih
memilih untuk meminjam kepada rentenir karena prosedurnya mudah dan dana yang
diharapkan cepat cair. Bunga yang dikenakan rentenir pun tidak jauh dengan
bunga yang didapat ketika meminjam dana dari lembaga keuangan. Namun, dalam
perjalanannya, petani tetap kesulitan untuk membayar angsuran kepada rentenir.
Sistem bunga
berlipat ganda yang dipakai oleh para rentenir untuk mendapatkan keuntungan
sepihak menjadi sumber bencana bagi para petani yang meminjam dana rentenir. Banyak
petani menggadaikan lahan garapannya untuk melunasi utang kepada rentenir. Sebagai
contoh, ratusan petani di Giriwoyo, Wonogiri, Jawa Tengah, seperti yang
dilansir tempo.co pada 22 Maret 2010,
terancam tidak bisa bercocok tanam lantaran lahan garapan mereka tergadai pada
seorang rentenir.
Bunga dalam
kredit yang diberikan bank-bank konvensional juga tidak memberikan dampak yang
baik bagi petani. Saat petani mengalami kerugian, bunga bank justru mempersulit
petani melunasi utang. Nasib ini yang dialami para petani cabe di Kulonprogo,
Yogyakarta (kompas.com, 8 Juli 2011).
Saat harga cabe rendah, para petani hanya mampu membayar utang sebatas bunganya
saja. Mereka belum sanggup melunasi pokok pinjamannya. Dapat terlihat, kesulitan
petani, selain dari ketersediaan pembiayaan untuk pertanian, juga dari proses
atau mekanisme pembiayaan yang sarat dengan bunga.
Inilah yang
berbeda dari sistem pembiayaan syariah. Instrumen yang digunakan dalam
pembiayaan syariah adalah bagi hasil. Pada sistem konvensional, ketika petani
meminjam modal, petani diberikan syarat untuk membayar tambahan atau bunga dari
pinjaman pokok. Bunga dari pinjaman pokok sudah ditentukan oleh pihak pemberi
pinjaman dan tidak mempedulikan apakah di kemudian hari petani akan mengalami
keuntungan atau kerugian. Jika menyetujui persyaratannya, petani bisa
mendapatkan modal. Sebaliknya, jika tidak, petani tidak bisa mendapatkan modal.
Petani hanya sebagai penerima persyaratan tanpa memiliki kuasa untuk bernegosiasi.
Berbeda dengan
sistem konvensional, sistem syariah tidak meminta tambahan kepada peminjam
modal, jika peminjam mengalami kerugian. Syarat atau ketentuan tambahan atau bagi
hasil atas pinjaman pokok berdasarkan persentase keuntungan dan sesuai
kesepakatan kedua belah pihak. Jika petani mengalami kerugian, mereka tidak
memiliki kewajiban untuk memberikan tambahan atau bagi hasil dari pinjaman
pokoknya. Dapat dikatakan, keuntungan dan kerugian ditanggung bersama. Jika
petani untung, pihak pemberi modal untung. Begitu pula sebaliknya. Sedangkan
petani, rugi tenaga dan waktu.
Kondisi seperti
ini justru akan meningkatkan daya saing bagi para petani. Ketika keuntungan
yang diperoleh tinggi, bagi hasil yang akan mereka dapatkan juga akan tinggi.
Mereka pun akan berusaha keras agar usaha pertanian mereka tidak gagal. Di lain
pihak, lembaga keuangan yang menyediakan pembiayaan syariah pun akan
diuntungkan. Lembaga keuangan tidak akan dibayangi rasa was-was karena timbul rasa
kepercayaan terhadap petani. Selain itu, ketika produktivitas petani yang
dibiayai meningkat, bagi hasil yang mereka dapatkan pun akan meningkat dan
mampu memberikan bagi hasil yang besar pula kepada nasabahnya.
Pembiayaan
syariah ini secara tidak langsung juga membantu pemerintah dalam usaha mengurangi
permasalahan petani di Indonesia. Dampaknya untuk masyarakat luas adalah dapat menyumbang
ketersediaan bahan pemenuhan kebutuhan pangan.
Dari pemaparan tersebut,
dapat disimpulkan bahwa sistem pembiayaan syariah memiliki efek berganda yang
besar. Namun, di balik semua manfaat tersebut masih ada tugas untuk dapat
membumikan sistem pembiayaan syariah ke petani. Keterbatasan pengetahuan terhadap
sistem pembiayaan syariah dan aksesibilitas petani kepada lembaga keuangan
syariah (LKS) untuk pengajuan peminjaman modal masih belum sesuai dengan
kondisi petani. Perlu adanya sinergitas dari seluruh pihak, baik pemerintah,
Bank Indonesia, LKS, dan masyarakat.
Pemerintah perlu
mengkaji kembali undang-undang yang berkaitan dengan pertanian. Bank Indonesia
perlu membuat peraturan yang memudahkan pihak perbankan mencairkan modal untuk
petani, misalnya merevisi ketentuan agunan yang diharuskan dalam peminjaman
modal. LKS perlu memperkenalkan diri sebagai pihak yang pro terhadap petani,
khususnya dalam hal penyedia modal pertanian. Tokoh masyarakat perlu turut
membantu mensosialisasikan sistem pembiayaan syariah agar sampai ke telinga
petani.
Salah satu hal
yang dapat melancarkan perencanaan yang sudah dibuat adalah kegiatan
sosialisasi. Pemanfaatan
Program Kuliah Kerja Profesi (KKP) mahasiswa ekonomi syariah dari
berbagai universitas dianggap dapat membantu proses sosialisasi tersebut di kalangan
masyarakat desa. Swasembada beras pada 1960-an berhasil dicapai dengan pemerintah
mengerahkan tenaga mahasiswa untuk turun tangan mengembangkan pertanian dalam
program Bimbingan Massal (Bimas). Bukan hal mustahil pengembangan ekonomi
syariah, khususnya untuk membantu bidang pertanian akan efektif dilakukan oleh
para mahasiswa.
Sarrah Raisa, Putri Monicha Sari, Nana Rodiana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar